Periode 1933 - 1940
Sebelum lahir nama Persib, pada tahun 1923 di Kota Bandung berdiri Bandoeng Inlandsche Voetbal Bond (BIVB). BIVB ini merupakan salah satu organisasi perjuangan kaum nasionalis pada masa itu. Tercatat sebagai Ketua Umum BIVB adalah Syamsudin yang kemudian diteruskan oleh putra pejuang wanita Dewi Sartika, yakni R. Atot.
BIVB kemudian menghilang dan muncul dua perkumpulan lain bernama Persatuan Sepak bola Indonesia Bandung (PSIB) dan National Voetball Bond (NVB). Pada 14 Maret 1933 kedua klub itu sepakat melebur dan lahirlah perkumpulan baru yang bernama Persib yang kemudian memilih Anwar St. Pamoentjak sebagai ketua umum. Klub- klub yang bergabung ke dalam Persib adalah SIAP, Soenda, Singgalang, Diana, Matahari, OVU, RAN, HBOM, JOP, MALTA, dan Merapi. Setelah tampil tiga kali sebagai runner up pada Kompetisi Perserikatan 1933 (Surabaya), 1934 (Bandung), dan 1936 (Solo), Persib mengawali juara pada Kompetisi 1939 di Solo.
Periode 1941 - 1969
Setelah Indonesia merdeka, pada 1950 digelar Kongres PSSI di Semarang dan Kompetisi Perserikatan. Persib yang pada saat itu dihuni oleh Aang Witarsa, Amung, Andaratna, Ganda, Freddy Timisela, Sundawa, Toha, Leepel, Smith, Jahja, dan Wagiman hanya mampu menjadi runner-up setelah kalah bersaing dengan Persebaya.
Pada tahun 50-an Aang Witarsa dan Anas menjadi pemain asal Persib pertama yang ditarik bergabung dengan tim nasional Indonesia untuk bermain di pentas Asian Games 1950.
Prestasi Persib kembali meningkat pada 1955-1957. Munculnya nama-nama seperti Aang Witarsa dan Ade Dana yang menjadi wakil dari Persib di tim nasional untuk berlaga di Olimpiade Melbourne 1956. Pada ajang itu, tim nasional Indonesia berhasil menahan imbang Uni Sovyet sehingga memaksa diadakan pertandingan ulang yang berujung kekalahan telak untuk Indonesia dengan skor 4-0.
Persib makin disegani. Pada Kompetisi 1961 tim kebanggaan “Kota Kembang” itu meraih juara untuk kedua kalinya setelah mengalahkan PSM Ujungpandang. Materi pemain Persib saat itu adalah Simon Hehanusa, Hermanus, Juju (kiper), Ishak Udin, Iljas Hadade, Rukma, Fatah Hidayat, Sunarto, Thio Him Tjhaiang, Ade Dana, Hengki Timisela, Wowo Sunaryo, Nazar, Omo Suratmo, Pietje Timisela, Suhendar, dll. Karena prestasinya itu, Persib ditunjuk mewakili PSSI di ajang kejuaraan sepakbola “Piala Aga Khan” di Pakistan pada 1962. Bintang Persib saat itu juga telah lahir Emen “Guru” Suwarman.
Setelah itu, prestasi Persib mengalami pasang surut. Prestasi terbaik Persib di Kompetisi perserikatan meraih posisi runner up pada 1966 setelah kalah dari PSM di Jakarta.
Periode 1970 - 1985
Pada tahun 70-an, Persib mengalami masa sulit dan miskin gelar. Namun, Max Timisela, yang menempati posisi gelandang menjadi langganan tim nasional. Puncaknya pada Kompetisi Perserikatan 1978-1979, Persib terdegradasi ke Divisi I.
Kondisi itu membuat para pembina Persib berpikir keras untuk melakukan revolusi pembinaan. Dipersiapkanlah tim junior yang ditangani pelatih Marek Janota (Polandia). Kemudian, tim senior diarsiteki Risnandar Soendoro. Gabungan pemain junior dan senior ini membuahkan hasil karena Persib berhasil promosi ke Divisi Utama dengan materi pemain seperti Sobur (kiper), Giantoro, Kosasih B, Adeng Hudaya, Encas Tonif, dll.
Hasil polesan Marek ini lahirlah bintang-bintang Persib seperti Robby Darwis, Adeng Hudaya, Adjat Sudrajat, Suryamin, Dede Iskandar, Boyke Adam, Sobur, Sukowiyono, Iwan Sunarya, dll. Hasil binaan Marek ini membawa Persib lolos ke final bertemu PSMS pada Kompetisi Perserikatan 1982-1983 dan 1984-1985. Dua kali Persib harus puas sebagai runner up setelah kalah adu penalti. Pada final 1984-1985 mencatat rekor penonton karena membeludak hingga pinggir lapangan. Dari kapasitas 100.000 tempat duduk di Stadion Senayan, jumlah penonton yang hadir mencapai 120.000 orang.
Periode 1986 - 1990
Pada tahun 1985 Ateng Wahyudi menjadi ketua umum Persib menggantikan Solihin GP. Harapan yang dinantikan meraih juara kembali akhirnya terwujud. Pada Kompetisi Perserikatan 1986, Persib yang ditangani pelatih Nandar Iskandar meraih juara setelah di final mengalahkan Perseman Manokwari 1-0 melalui gol tunggal Djadjang Nurdjaman, di Stadion Senayan. Materi pemain Persib saat itu masih hasil polesan Marek Janota seperti Sobur, Boyke Adam (kiper), Robby Darwis, Adjat Sudrajat, Sukowiyono, Yana Rodiana, Adeng Hudaya, Sarjono, Iwan Sunarya, Sidik Djafar, dll.
Prestasi Persib masih tergolong stabil. Meski gelar itu lepas ke tangan PSIS pada Kompetisi 1987 dan Persebaya pada 1988, Persib masih berlaga di Senayan. Persib kembali meraih gelar juara pada Kompetisi 1990 setelah mengalahkan Persebaya 2-0 melalui gol bunuh diri Subangkit, dan Dede Rosadi. Saat itu, Persib yang ditangani pelatih Ade Dana dengan asisten Dede Rusli dan Indra Thohir diperkuat: Samai Setiadi (kiper), Robby Darwis, Adeng Hudaya, Ade Mulyono Asep Sumantri, Nyangnyang/Dede Rosadi, Yusuf Bachtiar, Sutiono Lamso, Adjat Sudrajat, Dede Iskandar, Djadjang Nurdjaman.
Periode 1991 - 1994
Pada Kompetisi 1991-1992, Persib gagal mempertahankan gelar setelah kalah 1-2 dari PSM di semifinal, dan 1-2 dari Persebaya pada perebutan tempat ketiga dan keempat. Pada tahun 1993 Wahyu Hamijaya dipilih menjadi ketua umum Persib menggantikan Ateng Wahyudi. Pada kompetisi penutup Perserikatan 1993-1994 Persib meraih gelar juara setelah di final mengalahkan PSM 2-0 melalui gol Yudi Guntara dan Sutiono Lamso. Persib pun berhak membawa pulang Piala Presiden untuk selamanya karena kompetisi berikutnya berubah nama menjadi Liga Indonesia, yang pesertanya dari Galatama dan Perserikatan.
Saat merebut gelar juara Kompetisi Perserikatan terakhir, trio pelatih yang menangani Persib adalah Indra Thohir, Djadjang Nurdjaman, dan Emen “Guru” Suwarman. Materi pemainnya, yakni Aris Rinaldi (kiper), Robby Darwis, Roy Darwis, Yadi Mulyadi, Dede Iskandar, Nandang Kurnaedi, Yusuf Bachtiar, Asep Kustiana, Sutiono Lamso, Kekey Zakaria, Yudi Guntara.
Persib kembali mencatatkan namanya dalam sejarah kompetisi Liga Indonesia. Persib berhasil mencapai final dan menggengam trofi juara dengan menaklukkan Petrokimia Putra dihadapan lebih kurang 80.000 penonton di partai final dengan skor 1-0 melalui gol Sutiono Lamso pada menit ke-76. Sorai-sorai pun bergemuruh di Stadion Utama Senayan Jakarta. Saat itu, Persib ditangani trio pelatih Indra Thohir, Djadjang Nurdjaman, Emen “Guru” Suwarman. Persib menggunakan formasi 3-5-2 dengan materi pemain adalah Anwar Sanusi (kiper), Robby Darwis, Yadi Mulyadi, Mulyana (belakang). Dede Iskandar (kanan), Nandang Kurnaedi (kiri), Asep “Munir” Kustiana, Yusuf Bachtiar, Yudi Guntara/Asep Sumantri (gelandang), Kekey Zakaria, Sutiono Lamso (depan).
Periode 1995 - 2009
Setelah meraih juara Liga Indonesia I 1994-1995, prestasi Persib mulai menurun. Akan tetapi, dalam kompetisi internasional prestasinya cukup mengesankan karena sempat berlaga sampai perempat final Piala Champion Asia. Namun di tanah air Persib harus merelakan trofi Piala Liga Indonesia jatuh ke tangan saudara se-kota Tim Mastrans Bandung Raya yang akhirnya menjadi juara Liga Indonesia II.
Ternyata perjalanan Persib dalam mengarungi Liga Indonesia tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Meski perombakan di tubuh Persib kerap terjadi, belum juga menuai hasil maksimal, bahkan Persib sempat terancam terdepak dari kompetisi Liga Indonesia karena kerap di posisi papan bawah. Pada Liga Indonesia VII/2001 diarsiteki pelatih Indra Thohir dan Deny Syamsudin, Persib bisa lolos ke babak “8 Besar” di Medan, tetapi akhirnya gagal ke semifinal. Pergantian pelatih pun dilakukan termasuk dengan mendatangkan dari Polandia, Marek Andrejz Sledzianowski pada Liga Indonesia IX/2003. Namun, Marek Sledzianowski tidak seberuntung seniornya, Marek Janota. Sledzianowski diganti di tengah jalan karena Persib terseok-seok di papan bawah. Untuk menghindari jurang degradasi, pengurus Persib mendatangkan pelatih asing asal Cile, Juan Antonio Paez. Upaya ini berhasil dan Paez dipertahankan hingga Liga Indonesia X/2004.
Pada Liga Indonesia XI/2005, Indra Thohir kembali dipanggil. Namun, Persib harus puas di peringkat lima. Kompetisi berikutnya, Risnandar Soendoro dipercaya menjadi pelatih. Namun, dia hanya bertahan hingga dua pertandingan awal kandang setelah kalah dari PSIS dan Persiap di Stadion Siliwangi Bandung dan posisinya diganti Arcan Iurie Anatolievici. Pelatih asal Moldova itu kembali dipertahankan untuk menukangi Persib pada Liga Indonesia XIII 2007. Saat itu, Persib sudah diprediksi bakal meraih gelar juara karena pada paruh musim tampil sebagai pemuncak klasemen Wilayah Barat dan memenangkan duel dengan PSM sebagai pemuncak klasemen Wilayah Timur.
Akan tetapi, pada putaran kedua, Persib terpeleset dan prestasinya menurun sehingga menempati peringkat kelima dan gagal lolos ke babak “8 Besar”. Pada Kompetisi Liga Super Indonesia I/2008-2009 untuk kali pertama Persib diracik pelatih dari luar Bandung. Jaya Hartono (Medan), yang membawa Persik Kediri menggondol Piala LI IX/2003 dipanggil untuk meracik Persib. Sayangnya, Persib harus puas menempati peringkat tiga dalam kompetisi yang menggunakan format satu wilayah itu. Pada Liga Super Indonesia II/2009-2010, Persib yang masih ditangani Jaya Hartono kemudian diganti asistennya Robby Darwis pada putaran kedua kompetisi hanya menempati peringkat keempat klasemen akhir.
Source : persib.co.id
#mGm
Periode 1970 - 1985
Pada tahun 70-an, Persib mengalami masa sulit dan miskin gelar. Namun, Max Timisela, yang menempati posisi gelandang menjadi langganan tim nasional. Puncaknya pada Kompetisi Perserikatan 1978-1979, Persib terdegradasi ke Divisi I.
Kondisi itu membuat para pembina Persib berpikir keras untuk melakukan revolusi pembinaan. Dipersiapkanlah tim junior yang ditangani pelatih Marek Janota (Polandia). Kemudian, tim senior diarsiteki Risnandar Soendoro. Gabungan pemain junior dan senior ini membuahkan hasil karena Persib berhasil promosi ke Divisi Utama dengan materi pemain seperti Sobur (kiper), Giantoro, Kosasih B, Adeng Hudaya, Encas Tonif, dll.
Hasil polesan Marek ini lahirlah bintang-bintang Persib seperti Robby Darwis, Adeng Hudaya, Adjat Sudrajat, Suryamin, Dede Iskandar, Boyke Adam, Sobur, Sukowiyono, Iwan Sunarya, dll. Hasil binaan Marek ini membawa Persib lolos ke final bertemu PSMS pada Kompetisi Perserikatan 1982-1983 dan 1984-1985. Dua kali Persib harus puas sebagai runner up setelah kalah adu penalti. Pada final 1984-1985 mencatat rekor penonton karena membeludak hingga pinggir lapangan. Dari kapasitas 100.000 tempat duduk di Stadion Senayan, jumlah penonton yang hadir mencapai 120.000 orang.
Periode 1986 - 1990
Pada tahun 1985 Ateng Wahyudi menjadi ketua umum Persib menggantikan Solihin GP. Harapan yang dinantikan meraih juara kembali akhirnya terwujud. Pada Kompetisi Perserikatan 1986, Persib yang ditangani pelatih Nandar Iskandar meraih juara setelah di final mengalahkan Perseman Manokwari 1-0 melalui gol tunggal Djadjang Nurdjaman, di Stadion Senayan. Materi pemain Persib saat itu masih hasil polesan Marek Janota seperti Sobur, Boyke Adam (kiper), Robby Darwis, Adjat Sudrajat, Sukowiyono, Yana Rodiana, Adeng Hudaya, Sarjono, Iwan Sunarya, Sidik Djafar, dll.
Prestasi Persib masih tergolong stabil. Meski gelar itu lepas ke tangan PSIS pada Kompetisi 1987 dan Persebaya pada 1988, Persib masih berlaga di Senayan. Persib kembali meraih gelar juara pada Kompetisi 1990 setelah mengalahkan Persebaya 2-0 melalui gol bunuh diri Subangkit, dan Dede Rosadi. Saat itu, Persib yang ditangani pelatih Ade Dana dengan asisten Dede Rusli dan Indra Thohir diperkuat: Samai Setiadi (kiper), Robby Darwis, Adeng Hudaya, Ade Mulyono Asep Sumantri, Nyangnyang/Dede Rosadi, Yusuf Bachtiar, Sutiono Lamso, Adjat Sudrajat, Dede Iskandar, Djadjang Nurdjaman.
Periode 1991 - 1994
Pada Kompetisi 1991-1992, Persib gagal mempertahankan gelar setelah kalah 1-2 dari PSM di semifinal, dan 1-2 dari Persebaya pada perebutan tempat ketiga dan keempat. Pada tahun 1993 Wahyu Hamijaya dipilih menjadi ketua umum Persib menggantikan Ateng Wahyudi. Pada kompetisi penutup Perserikatan 1993-1994 Persib meraih gelar juara setelah di final mengalahkan PSM 2-0 melalui gol Yudi Guntara dan Sutiono Lamso. Persib pun berhak membawa pulang Piala Presiden untuk selamanya karena kompetisi berikutnya berubah nama menjadi Liga Indonesia, yang pesertanya dari Galatama dan Perserikatan.
Saat merebut gelar juara Kompetisi Perserikatan terakhir, trio pelatih yang menangani Persib adalah Indra Thohir, Djadjang Nurdjaman, dan Emen “Guru” Suwarman. Materi pemainnya, yakni Aris Rinaldi (kiper), Robby Darwis, Roy Darwis, Yadi Mulyadi, Dede Iskandar, Nandang Kurnaedi, Yusuf Bachtiar, Asep Kustiana, Sutiono Lamso, Kekey Zakaria, Yudi Guntara.
Persib kembali mencatatkan namanya dalam sejarah kompetisi Liga Indonesia. Persib berhasil mencapai final dan menggengam trofi juara dengan menaklukkan Petrokimia Putra dihadapan lebih kurang 80.000 penonton di partai final dengan skor 1-0 melalui gol Sutiono Lamso pada menit ke-76. Sorai-sorai pun bergemuruh di Stadion Utama Senayan Jakarta. Saat itu, Persib ditangani trio pelatih Indra Thohir, Djadjang Nurdjaman, Emen “Guru” Suwarman. Persib menggunakan formasi 3-5-2 dengan materi pemain adalah Anwar Sanusi (kiper), Robby Darwis, Yadi Mulyadi, Mulyana (belakang). Dede Iskandar (kanan), Nandang Kurnaedi (kiri), Asep “Munir” Kustiana, Yusuf Bachtiar, Yudi Guntara/Asep Sumantri (gelandang), Kekey Zakaria, Sutiono Lamso (depan).
Periode 1995 - 2009
Setelah meraih juara Liga Indonesia I 1994-1995, prestasi Persib mulai menurun. Akan tetapi, dalam kompetisi internasional prestasinya cukup mengesankan karena sempat berlaga sampai perempat final Piala Champion Asia. Namun di tanah air Persib harus merelakan trofi Piala Liga Indonesia jatuh ke tangan saudara se-kota Tim Mastrans Bandung Raya yang akhirnya menjadi juara Liga Indonesia II.
Ternyata perjalanan Persib dalam mengarungi Liga Indonesia tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Meski perombakan di tubuh Persib kerap terjadi, belum juga menuai hasil maksimal, bahkan Persib sempat terancam terdepak dari kompetisi Liga Indonesia karena kerap di posisi papan bawah. Pada Liga Indonesia VII/2001 diarsiteki pelatih Indra Thohir dan Deny Syamsudin, Persib bisa lolos ke babak “8 Besar” di Medan, tetapi akhirnya gagal ke semifinal. Pergantian pelatih pun dilakukan termasuk dengan mendatangkan dari Polandia, Marek Andrejz Sledzianowski pada Liga Indonesia IX/2003. Namun, Marek Sledzianowski tidak seberuntung seniornya, Marek Janota. Sledzianowski diganti di tengah jalan karena Persib terseok-seok di papan bawah. Untuk menghindari jurang degradasi, pengurus Persib mendatangkan pelatih asing asal Cile, Juan Antonio Paez. Upaya ini berhasil dan Paez dipertahankan hingga Liga Indonesia X/2004.
Pada Liga Indonesia XI/2005, Indra Thohir kembali dipanggil. Namun, Persib harus puas di peringkat lima. Kompetisi berikutnya, Risnandar Soendoro dipercaya menjadi pelatih. Namun, dia hanya bertahan hingga dua pertandingan awal kandang setelah kalah dari PSIS dan Persiap di Stadion Siliwangi Bandung dan posisinya diganti Arcan Iurie Anatolievici. Pelatih asal Moldova itu kembali dipertahankan untuk menukangi Persib pada Liga Indonesia XIII 2007. Saat itu, Persib sudah diprediksi bakal meraih gelar juara karena pada paruh musim tampil sebagai pemuncak klasemen Wilayah Barat dan memenangkan duel dengan PSM sebagai pemuncak klasemen Wilayah Timur.
Akan tetapi, pada putaran kedua, Persib terpeleset dan prestasinya menurun sehingga menempati peringkat kelima dan gagal lolos ke babak “8 Besar”. Pada Kompetisi Liga Super Indonesia I/2008-2009 untuk kali pertama Persib diracik pelatih dari luar Bandung. Jaya Hartono (Medan), yang membawa Persik Kediri menggondol Piala LI IX/2003 dipanggil untuk meracik Persib. Sayangnya, Persib harus puas menempati peringkat tiga dalam kompetisi yang menggunakan format satu wilayah itu. Pada Liga Super Indonesia II/2009-2010, Persib yang masih ditangani Jaya Hartono kemudian diganti asistennya Robby Darwis pada putaran kedua kompetisi hanya menempati peringkat keempat klasemen akhir.
Source : persib.co.id
#mGm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar